Dampak Status Penyelenggara terhadap Kewajiban Pajak Aset Kripto

Seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan berbagai token digital lainnya, pemerintah Indonesia telah menetapkan kerangka perpajakan yang lebih terstruktur melalui regulasi terbaru. Salah satu aspek krusial dalam penerapan pajak atas transaksi aset kripto adalah status penyelenggara atau platform tempat transaksi dilakukan.

Perbedaan status ini berpengaruh langsung terhadap tarif pajak yang dikenakan, kewajiban pemungutan, dan cara pelaporan. Lantas, siapa saja yang disebut sebagai penyelenggara resmi? Dan apa risiko jika bertransaksi melalui platform yang tidak terdaftar?

Penyelenggara CRYPTO

Apa Itu Penyelenggara Resmi?

Penyelenggara resmi dalam konteks transaksi aset kripto di Indonesia adalah pihak yang:

  1. Terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebagai pedagang fisik aset kripto yang diakui secara legal di Indonesia.
  2. Ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh Final) atas transaksi aset kripto.

Mulai 1 Agustus 2025, seiring dengan diberlakukannya PMK 50/2025, status penyelenggara resmi tidak lagi dikaitkan dengan kewajiban pemungutan PPN atas aset kripto, karena PPN atas aset kripto telah dihapuskan. Namun, PPN tetap dikenakan atas jasa yang diberikan oleh penyelenggara, seperti jasa dompet elektronik, layanan swap, dan fasilitasi transaksi.

Penyelenggara resmi yang memenuhi kriteria ini wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPh Final dari transaksi aset kripto. Pemungutan pajak dilakukan secara otomatis, sehingga pengguna tidak perlu menyetorkan pajak secara mandiri.

Contoh Penyelenggara Resmi:

Daftar lengkap dapat ditemukan di situs resmi Bappebti.

Penyelenggara Tidak Resmi

Sementara itu, penyelenggara tidak resmi adalah platform yang tidak terdaftar di Bappebti dan/atau belum ditunjuk DJP sebagai pemungut pajak. Ini termasuk:

  • Platform luar negeri tanpa izin di Indonesia (misalnya: Binance, OKX, KuCoin, Bybit, dll).
  • Peer-to-peer exchange tanpa entitas hukum tetap di Indonesia.
  • Transaksi langsung antar pengguna (over-the-counter) tanpa perantara resmi.

Dalam situasi ini, tidak ada mekanisme pemungutan pajak secara otomatis oleh platform. Artinya, seluruh kewajiban perpajakan—mulai dari penghitungan, penyetoran, hingga pelaporan—harus dilakukan mandiri oleh wajib pajak.

Baca Juga: Pajak Aset Kripto di Indonesia: Apa yang Perlu Anda Ketahui?

Dampak Pemilihan Platform

Pemilihan platform tempat transaksi aset kripto berdampak langsung pada tarif pajak yang dikenakan. Pemerintah kini membedakan perlakuan berdasarkan status penunjukan sebagai pemungut PPh oleh DJP, serta yurisdiksi penyelenggara, baik dalam maupun luar negeri. Tarif yang dikenakan pun bervariasi, bergantung pada skema pemungutan yang berlaku. Berikut rincian tarif yang berlaku

Tarif Pajak Aset Kripto s.d. 31 Juli 2025 
Jenis PajakPenyelenggara
ResmiTidak Resmi
PPh Final (Pasal 22) atas Aset Kripto0,1% dari nilai transaksi0,2% dari nilai transaksi
PPN atas Aset Kripto0,11% dari nilai transaksi0,22% dari nilai transaksi
PPN atas Aset Kripto & Jasa PMSE
(fasilitasi transaksi, e-wallet, dll)
11/12 dari Biaya Layanan x 12%
Dasar Hukum: PMK No. 68/PMK.03/2022

Tarif Pajak Aset Kripto Mulai 1 Agustus 2025
Jenis PajakBerkedudukan
Dalam NegeriLuar Negeri
PPh Final (Pasal 22) atas Aset Kripto0,21% dari nilai transaksi1% dari nilai transaksi
PPN atas Aset KriptoDihapus
PPN atas Aset Kripto & Jasa PMSE
(fasilitasi transaksi, e-wallet, dll)
11/12 dari Biaya Layanan × 12%
Dasar Hukum: PMK 50/2025

PMK 50/2025 Pasal 20 menegaskan bahwa pajak penghasilan yang dibayar di luar negeri atas penghasilan dari transaksi aset kripto tidak dapat dikreditkan di Indonesia. Sebab, penghasilan tersebut telah dikenai PPh Final di dalam negeri dan tidak memenuhi syarat pengkreditan menurut Pasal 24 Undang-Undang PPh. Akibatnya, wajib pajak berisiko mengalami pajak berganda atas penghasilan yang sama.

Tarif ini berlaku untuk semua jenis transaksi, termasuk jual beli aset kripto, swap antar kripto, maupun pembayaran barang atau jasa dengan kripto. Jika transaksi dilakukan melalui penyelenggara resmi, pajak akan dipotong secara otomatis. Sebaliknya, jika menggunakan platform tidak resmi, tanggung jawab pelaporan dan penyetoran seluruhnya berada di tangan pengguna.

Baca Juga: 4 Regulasi Pajak Terbaru Berlaku 1 Agustus 2025: Apa Dampaknya?

Kesimpulan

Pemilihan tempat bertransaksi aset kripto bukan hanya soal keamanan dan fitur, tetapi juga memiliki dampak langsung pada kewajiban perpajakan Anda. Bertransaksi di penyelenggara resmi memberikan kemudahan dan kepastian hukum, karena pajak dipotong otomatis dan platform diawasi oleh otoritas.

Sebaliknya, jika Anda menggunakan platform tidak resmi, Anda perlu lebih berhati-hati dalam mencatat, menghitung, dan menyetorkan pajak secara mandiri. Kepatuhan pajak bukan hanya bentuk tanggung jawab warga negara, tetapi juga perlindungan dari potensi risiko hukum di masa depan. Hubungi kami untuk konsultasi lebih lanjut.

Tombol WhatsApp - Hubungi Kami