- Phone: (031) 849 5566
- WA: +6282140060234
- Email: [email protected]
- Hours: Mon-Fri, 8am - 5pm
Bara dalam Cermin Psikologi
Psikologi di Balik Novel Bara: Surat Terakhir Seorang Pengelana
Pernahkah kamu merasa hidup terlalu kejam—penuh kehilangan, tapi tetap harus berjalan? Itulah yang dialami Bara, tokoh utama dalam novel Bara: Surat Terakhir Seorang Pengelana karya Febrialdi R.
Sekilas, novel ini tampak seperti kisah seorang pendaki gunung. Namun, jika diselami lebih dalam, kisah tersebut bukan hanya soal pendakian fisik, melainkan pendakian batin seorang anak muda yang hidupnya dipenuhi luka, kehilangan, dan pencarian jati diri. Di balik alurnya, tersimpan potret psikologis yang bisa dibaca melalui dua sudut pandang besar: behaviorisme dan psikoanalisis.
Emosi dalam Kacamata ‘Behaviorisme’
Behaviorisme, yang dipelopori oleh B. F. Skinner, melihat manusia dari perilaku yang tampak. Pada tokoh Bara, kita bisa menyaksikan bagaimana stimulus kehidupan—kehilangan orang-orang yang ia cintai—melahirkan respons emosional yang intens.
Emosi Positif: Meski penuh luka, ia masih bisa merasakan cinta, persahabatan, dan kebahagiaan kecil. Cintanya pada Kirana, kebersamaan dengan sahabatnya Inoy, atau saat menulis sebagai pelarian batin adalah bentuk dari sisi positif yang tersisa dalam hidupnya.
Emosi Negatif: Namun, hidupnya juga dibanjiri marah, sedih, cemas, dan putus asa. Kehilangan nenek, kepergian ibu, ayah yang dipenjara, hingga kematian sahabat dan kekasih membuat Bara kerap jatuh dalam keputusasaan.
Dari kacamata behaviorisme, Bara adalah cermin betapa kuatnya stimulus lingkungan memengaruhi perilaku. Ia tidak bisa memilih apa yang menimpanya, tapi setiap kehilangan meninggalkan jejak: dari murung, gelisah, hingga tindakan impulsif untuk terus mendaki meski berisiko.
Pertarungan Batin: Psikoanalisis Freud
Jika behaviorisme menyoroti perilaku yang tampak, psikoanalisis ala Sigmund Freud justru mengungkap lapisan tak sadar: id, ego, super-ego, serta dorongan hidup (eros) dan dorongan mati (thanatos).
Id (naluri, dorongan dasar): Bara kerap dikuasai emosi—kerinduan pada kasih sayang, amarah, dan hasrat untuk dicintai.
Ego (rasionalitas, penengah): Ego adalah sisi paling dominan. Bara sering berhenti, menimbang, menyesali, dan merenungi hidupnya. Penyesalan yang berulang menunjukkan betapa keras usahanya menyeimbangkan keinginan dan realitas.
Super-ego (nilai moral, hati nurani): Meski diliputi luka, Bara tetap menulis, menjadi relawan, dan berusaha memberi. Super-ego ini yang membuatnya tetap manusiawi.
Eros (dorongan hidup): Hasrat untuk mencintai, mendaki gunung, menulis, dan terus bertahan. Bara masih punya energi untuk melawan rasa sakit.
Thanatos (dorongan kematian): Namun, dorongan ini selalu mengintai. Klimaksnya adalah kematian Bara karena hipotermia di Gunung Ciremai—bukan sekadar tragedi fisik, tapi simbol kemenangan thanatos setelah eros berjuang begitu lama.
Potret Luka Generasi Muda
Bara bukan sekadar karakter fiksi; ia adalah simbol wajah banyak anak muda hari ini. Banyak yang tumbuh dalam keluarga disfungsional, kehilangan arah, mencari cinta, lalu jatuh bangun berusaha berdamai dengan trauma.
Ia rapuh, tapi juga tangguh. Penuh kehilangan, tapi tetap mencoba memberi. Bara adalah gambaran manusia muda yang terus bernegosiasi dengan rasa sakit.
Pelajaran Psikologis dari Bara
Novel ini menyimpan beberapa pelajaran psikologi yang bisa kita ambil:
Kehilangan adalah stimulus terbesar dalam hidup.
Responsnya bisa berbeda—ada yang hancur, ada yang tumbuh lebih kuat.Ego dan kesadaran diri adalah kunci.
Di tengah pertarungan id dan super-ego, refleksi diri membuat kita tetap bertahan.Dorongan hidup dan mati selalu berdampingan.
Kadang kita ingin berlari, kadang ingin menyerah. Itu bagian dari manusia.Masa muda bukan selalu soal kebebasan.
Bagi sebagian orang, justru inilah fase penuh luka yang sulit dipikul sendirian.
Kesimpulan
Bara: Surat Terakhir Seorang Pengelana adalah novel yang tidak hanya menyentuh lewat tragedinya, tetapi juga kaya makna psikologis. Melalui behaviorisme, kita melihat stimulus kehilangan yang melahirkan emosi Bara. Lewat psikoanalisis, kita menemukan pertarungan id, ego, superego, eros, dan thanatos yang menjadikan tokoh ini begitu manusiawi.
Pada akhirnya, Bara mengingatkan kita bahwa di balik setiap luka selalu ada cerita, dan di balik setiap perjalanan selalu ada jiwa yang sedang mencari rumahnya sendiri.