- Phone: (031) 849 5566
- WA: +6282140060234
- Email: [email protected]
- Hours: Mon-Fri, 8am - 5pm
Glass Ceiling: Hambatan Karir Tersembunyi
Glass ceiling adalah hambatan tak terlihat yang membuat sebagian orang, khususnya perempuan dan minoritas, sulit menembus puncak karir.
Apa Itu Glass Ceiling?
Istilah glass ceiling menggambarkan hambatan tak kasat mata yang menghalangi perempuan dan kelompok minoritas untuk mencapai posisi puncak dalam perusahaan. Kaswan (2014) menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan sistem yang tidak adil, di mana sebagian individu sulit memperoleh kesempatan promosi meskipun memiliki kemampuan. Hambatan ini sering muncul akibat terbatasnya akses terhadap program pelatihan, kurangnya pengalaman pengembangan karir yang sesuai, serta minimnya dukungan melalui hubungan mentoring.
Mengapa Glass Ceiling Terjadi?
Fenomena glass ceiling tidak hanya disebabkan oleh faktor struktural, tetapi juga oleh budaya organisasi. Perempuan dan minoritas kerap mengalami kesulitan menemukan mentor karena mereka tidak terlibat dalam jaringan informal, seperti “old boys club”, yaitu komunitas tertutup yang didominasi oleh kelompok dengan latar belakang sosial dan pendidikan serupa. Menurut McGinn & Milkman (2013), fenomena old boys menunjukkan bagaimana pria sering lebih diuntungkan karena memiliki atasan dengan latar belakang serupa. Jaringan informal ini membuat peluang promosi bagi pria lebih terbuka, sementara perempuan dengan kemampuan setara seringkali tertinggal. Hal ini menegaskan bahwa hubungan sosial di tempat kerja bisa jadi penentu penting dalam perjalanan karier, bukan hanya kinerja semata. Akibatnya, akses terhadap kesempatan pengembangan karir menjadi sangat terbatas.
Dampak Glass Ceiling bagi Individu dan Perusahaan
Hambatan ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga merugikan perusahaan. Glass ceiling sebagai hambatan karir sering membuat karyawan kehilangan motivasi, merasa frustrasi, dan akhirnya tidak puas dengan pekerjaannya. Bagi perusahaan, kondisi ini berarti potensi besar dari para talenta terbaik tidak bisa dimanfaatkan maksimal, yang pada akhirnya menghambat inovasi dan menurunkan daya saing. Penelitian Catalyst (2020) bahkan menunjukkan bahwa perusahaan yang lebih inklusif dan beragam secara gender justru punya kinerja keuangan lebih baik dan lebih siap menghadapi perubahan.
Baca Juga : HRD, Sudah Kenal Model Pelatihan Ini?
Strategi Mencairkan Glass Ceiling
Noe (2010) memberikan beberapa rekomendasi penting untuk mengatasi fenomena ini, antara lain:
- Memastikan manajer senior terlibat aktif dalam program pengembangan karyawan.
- Membangun kesadaran akan bias gender dan dampaknya di lingkungan kerja.
- Membuka akses pelatihan dan mentoring untuk seluruh karyawan tanpa diskriminasi.
- Membuat sistem promosi dan penugasan yang transparan serta akuntabel.
- Menggunakan data dari survei, kelompok fokus, atau gugus tugas untuk mengidentifikasi akar masalah.
- Menjadikan perubahan sebagai bagian dari budaya organisasi, bukan sekadar kebijakan sementara.
Referensi
- Kaswan. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Keunggulan Bersaing Organisasi. Bandung: Graha Ilmu.
- Noe, R. A. (2010). Employee Training and Development (5th ed.). New York: McGraw-Hill.
- Catalyst. (2020). Why Diversity and Inclusion Matter
- McGinn, K. L., & Milkman, K. L. (2013). Looking Up and Looking Out: Career Mobility Effects of Demographic Similarity among Professionals. Organization Science, 24(4), 1041–1060.