- Phone: (031) 849 5566
- WA: +6282140060234
- Email: [email protected]
- Hours: Mon-Fri, 8am - 5pm
Jangan Paksa Bahagia: Bahaya Toxic Positivity
Toxic Positivity: Saat “Semangat Terus” Justru Membahayakan Kesehatan Mental
Di era media sosial dan motivasi instan, kita sering disuguhi pesan-pesan yang mendorong untuk selalu berpikir positif (Toxic Positivity). Kalimat seperti “semangat terus!”, “kamu pasti bisa!”, atau “jangan menyerah!” terdengar akrab dalam kehidupan sehari-hari. Meski terdengar menyemangati, pesan semacam ini bisa jadi pedang bermata dua.
Apa Itu Toxic Positivity?
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami apa sebenarnya toxic positivity. Istilah ini merujuk pada dorongan berlebihan untuk tetap berpikir positif dalam segala situasi, bahkan ketika seseorang sedang mengalami emosi negatif yang sah. Menurut Dr. Susan David & Christina Congleton, psikolog Harvard dan penulis Emotional Agility, toxic positivity muncul ketika kita memaksa diri atau orang lain untuk menolak perasaan tidak nyaman demi mempertahankan suasana hati yang positif.
Dengan kata lain, alih-alih memberi ruang untuk memproses rasa sedih, marah, atau kecewa, toxic positivity justru menekan emosi-emosi itu, dan seringkali menyamar sebagai “niat baik”.
Mengapa Toxic Positivity Bisa Berbahaya?
1. Membungkam Emosi Asli
Menurut Teori Emosi James-Lange, setiap emosi adalah hasil reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa. Jika seseorang menekan emosi negatif, ia berpotensi memutus jalur alami antara pengalaman dan pengolahan emosi. Ini bisa membuat emosi terakumulasi dan meledak dalam bentuk yang tidak sehat seperti ledakan amarah, depresi, atau kecemasan.
2. Menimbulkan Rasa Bersalah atau Tidak Valid
Albert Ellis, pelopor Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), menyebut bahwa keyakinan tidak rasional (irrational beliefs), seperti “saya harus selalu bahagia,” adalah penyebab umum stres psikologis. Ketika seseorang terus ditekan untuk tetap positif, ia bisa merasa bersalah atau gagal jika merasa sedih—padahal itu wajar.
3. Menghambat Relasi yang Sehat
Carl Rogers, dalam teori Person-Centered Therapy, menyebutkan bahwa hubungan yang sehat terbentuk dari keaslian (congruence), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), dan empati. Toxic positivity menghalangi ketiga komponen ini, karena mendorong kepura-puraan emosional dan meremehkan rasa sakit baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
4. Standar Emosional Tidak Realistis
Martin Seligman, pelopor psikologi positif, justru menyarankan keseimbangan antara optimisme realistis dan pengakuan terhadap emosi negatif. Toxic positivity mendorong idealisme palsu yang menyabotase ketahanan mental jangka panjang.
Cara Menghindari Toxic Positivity (dan Kaitannya dengan Bahayanya)
Bahaya Toxic Positivity | Cara Menghindari | Penjelasan Psikologis |
---|---|---|
Menekan emosi | ✅ Berlatih mindfulness dan emotional labeling | Menurut Daniel Goleman (pakar kecerdasan emosional), menyebut emosi dengan kata yang tepat dapat menenangkan sistem limbik dan mendorong regulasi emosi yang sehat. |
Membuat rasa bersalah | ✅ Validasi diri dan orang lain | Kristin Neff, peneliti self-compassion, menunjukkan bahwa menerima diri apa adanya (termasuk emosi negatif) meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi kecenderungan menyalahkan diri. |
Mengganggu relasi | ✅ Dengarkan dengan empati, bukan solusi | Marshall Rosenberg melalui Nonviolent Communication (NVC) menyarankan mendengar dengan niat memahami, bukan mengubah perasaan orang lain. Ini memperkuat kepercayaan dan kedekatan emosional. |
Standar tidak realistis | ✅ Bangun optimisme realistis | Seligman menganjurkan learned optimism—yaitu harapan yang dibangun dari pengakuan kenyataan, bukan penyangkalan. |
Contoh Kalimat yang Lebih Sehat secara Emosional
Daripada mengatakan:
❌ “Jangan sedih, kamu pasti bisa kok!”
Cobalah:
✅ “Aku bisa mengerti ini berat buat kamu. Kamu nggak sendiri, ya.”
Daripada:
❌ “Bersyukur aja, banyak yang lebih susah dari kamu.”
Gantilah dengan:
✅ “Apa yang kamu rasakan valid. Semua orang punya perjuangan masing-masing.”
Penutup
Toxic positivity bukan tentang niat buruk, tapi tentang kurangnya ruang bagi emosi manusia yang kompleks. Emosi negatif bukan musuh; mereka adalah sinyal yang butuh didengar. Belajar menerima, bukan menolak, adalah bentuk keberanian emosional yang sesungguhnya.
Seperti kata Dr. Susan David:
“Discomfort is the price of admission to a meaningful life.”
Jadi, lain kali ketika temanmu bercerita tentang kesulitannya, mungkin yang paling dibutuhkan bukan semangat palsu, tapi kehadiran yang tulus dan pengakuan bahwa perasaan mereka itu sah.
—