Mengenal Istilah Pengusaha Kena Pajak (PKP) di Indonesia

Pengusaha Kena Pajak (PKP) merupakan status penting dalam sistem perpajakan Indonesia, khususnya dalam pemungutan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Status ini menentukan apakah suatu badan usaha wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.

Pengaturan mengenai PKP mengalami penguatan baik dari sisi definisi maupun kewajiban administrasinya dengan beberapa aturan baru. Beberapa di antaranya adalah UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU SDSN. Kedua regulasi ini menegaskan ulang batasan, prosedur, dan kepastian hukum terkait pengukuhan serta pencabutan PKP.

Dua pebisnis sedang berdiskusi mengenai persyaratan dan proses Pengusaha Kena Pajak (PKP) di ruang pertemuan

Definisi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Menurut UU SDSN,

“Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.”

Dengan demikian, setiap pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP pada dasarnya termasuk subjek PPN. Namun, pengusaha yang dikategorikan sebagai usaha kecil dapat memilih untuk tidak dikukuhkan sebagai PKP sepanjang memenuhi kriteria omzet tertentu. Sebaliknya, pengusaha yang telah melampaui ambang batas omzet, atau memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan, wajib dikukuhkan sebagai PKP oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

UU SDSN mempertegas bahwa PKP pada dasarnya adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP dalam daerah pabean dan memenuhi batasan tertentu. Peraturan Menteri Keuangan 164/2023 (PMK 164/2023) menyatakan bahwa, pengusaha yang omzet bruto setahun melebihi batas usaha kecil (sebesar Rp 4,8 miliar per tahun) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Laporan pengukuhan harus dilakukan paling lambat pada akhir tahun buku saat omzet melebihi batas.

Hak dan Kewajiban

Setelah memperoleh pengukuhan, Pengusaha Kena Pajak memiliki sejumlah kewajiban administratif dan perpajakan yang harus dijalankan secara konsisten. PKP wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kemudian menyetorkan pungutan tersebut ke kas negara sesuai jadwal yang berlaku. PKP harus menerbitkan Faktur Pajak sesuai ketentuan, menyelenggarakan pembukuan yang memadai untuk mendukung administrasi PPN, serta melaporkan SPT Masa PPN melalui formulir 1111 setiap bulan.

Di sisi lain, PKP juga memperoleh hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan sepanjang memenuhi persyaratan formal dan material. Hak ini memastikan agar PPN yang dibayar dalam proses perolehan BKP atau JKP dapat diperhitungkan dengan Pajak Keluaran, sehingga beban pajak benar-benar hanya dikenakan atas nilai tambah.

Risiko Jika Terlambat Menjadi PKP

Keterlambatan melaporkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak menimbulkan sejumlah konsekuensi fiskal yang cukup serius. DJP dapat melakukan pengukuhan PKP secara jabatan apabila omzet Wajib Pajak telah melampaui batas.

Ketika pengukuhan dilakukan secara jabatan, seluruh penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dianggap seolah-olah telah dikenai PPN sejak saat seharusnya menjadi PKP. Artinya, Wajib Pajak wajib menyetor PPN keluaran atas transaksi masa lalu, meskipun pada saat transaksi terjadi Wajib Pajak belum mengutip PPN dari pembeli. Dalam banyak kasus, PPN ini menjadi beban usaha karena tidak dapat ditagihkan kembali kepada pelanggan.

Tidak hanya itu, Wajib Pajak juga dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda dan bunga sesuai UU KUP atas kekurangan pembayaran PPN masa lalu. Selain itu, karena PPN keluaran ditetapkan mundur ke belakang (retroaktif), Pajak Masukan pada periode tersebut umumnya tidak dapat dikreditkan, sehingga meningkatkan total pajak yang harus dibayar.

Dengan demikian, keterlambatan menjadi PKP bukan hanya menyebabkan kewajiban tambahan atas transaksi terdahulu, tetapi juga berpotensi menciptakan beban pajak yang signifikan. Oleh karena itu, pengusaha perlu secara aktif memantau omzetnya dan segera melaporkan diri sebelum batas akhir tahun buku sebagaimana diatur dalam PMK 164/2023.

Tata Cara Pendaftaran sebagai PKP

Prosesnya dimulai dengan menyiapkan dokumen identitas dan legalitas usaha. Untuk Orang Pribadi, dokumen berupa KTP atau paspor serta NPWP, disertai bukti domisili atau kontrak sewa tempat usaha. Untuk badan usaha, dokumen yang digunakan meliputi akta pendirian, SK Kemenkumham, NPWP badan, dan dokumen legalitas lainnya yang menunjukkan keberadaan kegiatan usaha.

Setelah dokumen siap, permohonan pengukuhan dapat diajukan melalui Coretax, atau disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai lokasi usaha. Pada tahap ini, pengusaha mengisi formulir pendaftaran serta melampirkan dokumen yang diperlukan sesuai permintaan sistem atau petugas pajak.

Tahap berikutnya adalah verifikasi melalui survei lokasi. Petugas KPP akan melakukan pengecekan atas keberadaan usaha, kondisi tempat usaha, serta kesiapan administrasi yang dibutuhkan sebagai PKP. Survei ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kegiatan usaha benar-benar berjalan dan memenuhi syarat untuk dikukuhkan.

Apabila seluruh verifikasi terpenuhi, KPP akan menerbitkan Surat Pengukuhan PKP (SPPKP). Pengusaha akan memperoleh akses untuk menggunakan aplikasi menu PPN di Coretax. Pada tahap ini, pengusaha telah resmi memiliki status PKP dan harus menjalankan kepatuhan administratif sesuai ketentuan yang berlaku.

ProsesWewenangBatas WaktuDasar Hukum
Pendaftaran secara jabatanDJPTidak ditentukan secara angka, mengikuti proses verifikasi/pemeriksaanUU KUP (UU HPP), PER-04/PJ/2020
Keputusan pencabutan atas permohonan WPDJP6 bulan sejak permohonan diterima lengkapPER-04/PJ/2020 Pasal 9

UU SDSN Tahun 2023 Pasal 2 ayat (9)

Pemeriksaan untuk pencabutan secara jabatanDJPMaksimal 12 bulan (batas pemeriksaan)UU KUP Pasal 15
Pengajuan permohonan pencabutan oleh WPWajib PajakTidak dibatasi, dapat diajukan kapan saja selama WP tidak lagi memenuhi syarat PKPPER-04/PJ/2020

Baca Juga: 4 Regulasi Pajak Terbaru Berlaku 1 Agustus 2025: Apa Dampaknya?

Implikasi bagi Bisnis

Pengukuhan sebagai PKP membawa konsekuensi strategis bagi operasional perusahaan. Status PKP dapat meningkatkan kredibilitas di mata mitra usaha. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku.

Namun, status PKP juga menambah beban administrasi bagi pengusaha. Perusahaan wajib mengelola faktur pajak elektronik secara tertib. Rekonsiliasi pajak masukan dan keluaran harus dilakukan dengan cermat. Kewajiban pelaporan juga menjadi lebih ketat dibanding sebelumnya.

UU SDSN menekankan transparansi dalam administrasi perpajakan. Sistem perpajakan kini semakin berbasis digital. Pengusaha harus memiliki tata kelola perpajakan yang modern dan presisi. Setiap proses harus terdokumentasi dengan baik untuk memenuhi standar terbaru. Hubungi Kami untuk konsultasi lebih lanjut.

Tombol WhatsApp - Hubungi Kami